Example floating
Example floating
Berita

Menelisik Masa Kejayaan Salak Cineam Yang Kini Tenggelam

21
×

Menelisik Masa Kejayaan Salak Cineam Yang Kini Tenggelam

Sebarkan artikel ini

MitraBangsa.News Tasikmalaya – Kecamatan Cineam, Kabupaten Tasikmalaya sejak dulu dikenal memiliki hasil produksi pertanian yang ikonik, yaitu buah salak. Salak Cineam dulu terkenal dan mampu merajai pasar di Jawa Barat bahkan di Indonesia. Bahkan tak jarang pula salak Cineam dijajakan di bus-bus antar kota. Landong puyeng alias obat pusing, demikian para pedagang asongan menjajakan salak kepada para penumpang.

Bagi masyarakat Cineam, sektor agribisnis ini menjadi penopang perekonomian masyarakat. Kebutuhan ekonomi masyarakat di Kecamatan Cineam, Manonjaya hingga ke wilayah Cimaragas Ciamis bisa dipenuhi dari menanam salak.

Namun saat ini masa keemasan salak Cineam seakan tenggelam. Produksi semakin minim karena dianggap tak lagi menguntungkan. Kini yang tersisa hanya cerita-cerita manis dari legitnya berbisnis buah bernama latin Salacca Zalacca itu.

Rasman (60), warga Kampung Margamulya, Desa Cikondang, Kecamatan Cineam mengatakan, menanam salak saat ini sudah tak lagi menguntungkan.

“Sekarang sudah nggak laku, kalau dulu sebelum tahun 2000-an, saya punya kebun salak 400 bata, itu cukup untuk menghidupi keluarga,” kata Rasman, belum lama ini.

Dia mengenang, kala itu setiap 2 minggu sekali dia panen salak, lalu dengan mudah dijual di kebun karena banyak pengepul yang datang ke kampungnya untuk memborong salak.

“Pokoknya dua minggu sekali gajian, bandar-bandar datang ke sini. Cepat sekali jadi duitnya. Lah itu saya bisa punya rumah, menyekolahkan anak itu hasil dari salak,” kata Rasman.

Kondisi menguntungkan yang sudah berlangsung puluhan tahun itu perlahan mereda ketika mulai memasuki tahun 2000-an. “Sejak akhir 90-an juga sudah mulai ada gejalanya, harga turun. Bandar banyak yang bangkrut. Jadi susah menjual,” kata Rasman.

Bahkan di satu waktu, harga jual salak hanya Rp 100 per kilo. “Sampai 100 perak sekilo, itu kan sudah hancur, sama saja dengan nggak ada harganya,” kata Rasman.

Saat itu berbagai upaya dilakukan, termasuk mengolah buah salak menjadi manisan. Namun tetap saja, salak Cineam kalah bersaing. “Sudah dibuat manisan, tapi kalau tak ada yang membeli kan percuma,” kata Rasman.

AkhirnyaRasman pun membabat kebun salak miliknya, diganti dengan tanaman yang dianggap lebih menguntungkan. “Langsung ganti saja sama kapol (kapulaga), ya pohon salak disisakan beberapa batang sebagaititimangsa (kenang-kenangan),” kataRasman.

Kepala Desa Cikondang Kecamatan Cineam Eros Rosita mengatakan, meski sudah tenggelam dari masa kejayaan, salak Cineam masih eksis hingga saat ini.
“Masih ada, tidak punah. Rasa khasnya juga masih tetap sama, manis agak kecut dan segar,” kata Eros.

Menurut dia saat ini masih banyak orang luar yang mencari salak Cineam untuk oleh-oleh. Perdagangan salak pun masih ada, meski tak seramai dulu.

“Memang salak Cineam kalah bersaing, misalnya dengan salak Pondoh yang manisnya lebih konsisten. Tapi banyak juga masyarakat yang justru lebih suka salak Cineam,” kata Eros.

Hernawati (57), salah seorang bandar salak Cineam di masa keemasannya dulu.

“Dari tahun 2000-an ke belakang, jadi sekitar 80-an sampai 90-an saya juga menjadi bandar. Dengan mendiang suami saya, bisnis salak sangat menguntungkan,” kata Hernawati.

Dia mengatakan, dulu setiap hari dirinya bisa mengirim paling tidak 2 ton salak ke berbagai pasar.

“Dulu setiap hari kirim salak ke Caringin Bandung, Gedebage, Majalengka bahkan sempat ke Jakarta,” kata Hernawati.

Hernawati menjadi salah seorang bandar salak yang dapat dikatakan sukses. Dia juga membenarkan pada masa itu, salak menjadi penopang ekonomi masyarakat.

“Dulu itu harga 5 kg salak setara dengan 2 kg beras. Jadi para petani dari kampung-kampung datang ke saya bawa 5 kg salak, lalu ditukar dengan 2 kg beras. Masyarakat di pedesaan jadi tak pernah kesulitan bahan pangan,” kata Hernawati.

Jadi walau pun punya pohon salak beberapa tegakan, tapi bisa bermanfaat bagi masyarakat karena nilai jualnya yang lumayan tinggi.

Namun semua itu kini telah berubah, harga jual salah Cineam jatuh.

“Kalau sekarang mereka bawa 10 kilogram salak paling setara 1 kg beras. Itu pun saya tidak bisa menerima setiap hari, kalau stok lagi kosong baru saya terima,” kata Hernawati.

Meski dianggap sudah tak menjanjikan lagi dari sisi bisnis, namun Hernawati masih berusaha mempertahankan eksistensi salak Cineam. Dia mengaku tak mau jika salak Cineam punah, bahkan dianggap punah pun dia mengaku tak bisa menerima.

“Berkurang iya, tapi tidak punah. Ayo mau pesan berapa banyak pun saya siap menyediakan,” kata Hernawati.

Di warungnya yang terletak di Kampung Maribaya Desa Ancol Kecamatan Cineam, dia menyediakan salak Cineam dan beberapa buah lokal lainnya seperti bengkoang, pisang, labu dan lainnya.

“Tapi memang kurang laku, satu minggu paling habis 30 kilogram. Asal ada saja, jangan sampai punah,” kata Hernawati.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *